Rabu, 26 November 2008

GEDUNG TJONG A FIE

Gedung tua ini menggambarkan budaya sekaligus keuletan etnis Tionghoa yang sejak ratusan tahun menetap di Tanah Deli. Gedung tua yang berada di Kesawan (tapekong straat) ini milik Tjong A Fie, sahabat dekat Sultan Deli. Dia adalah Mayor China di Medan, seorang miliuner pertama di Sumatera.

Pada tahun 1870 Tjong A Fie dan kakaknya, Tjong Yong Hian meninggalkan Desa Moy Hian, Kanton, yang terletak di daratan China untuk merantau ke Tanah Deli sebagai kuli kontrak di perkebunan tembakau. Kakak beradik ini sangat jeli melihat peluang bisnis. Mereka kemudian membuka perkebunan dan menetap di Labuhan Deli. Disana, dia juga membuka kedai dengan nama Ban Yun Tjong. Tjong A Fie tahu betul kebutuhan kuli-kuli China dan perantau lainnya yang baru tiba di Tanah Deli, sehingga dalam waktu singkat saja dia kaya raya. Sampai saat ini bangunan Tjong A Fie masih berdiri kokok dan telah menjadi salah satu 'landmark' kota Medan disamping sebagai tempat tinggal keluarga keturunannya.

oleh : Megawati

POLISI...OH...POLISI...

Rabu, 26 November siang, saya melewati sebuah jalan kecil yang menghubungkan jalan Talaud dengan jalan Thamrin. Jalan tersebut biasanya saya pilih hanya jika saya terburu-buru, dan persimpangan jalan MT. Haryono dengan jalan Thamrin mengalami macet parah.

Ada satu hal yang membuat saya tercengang. Bahkan, jika bukan karena etika, mungkin saya sudah mendokumentasikan kejadian tersebut dengan kamera handphone saya.

Adalah ulah seorang petugas polisi yang membuat saya terkejut. Bayangkan, polisi tersebut - dengan perut buncit, yang bahkan lebih besar dari ukuran ibu hamil, duduk di warung kecil tanpa berpakaian alias bertelanjang dada sambil mengamati dua orang rekannya bermain catur. Yang makin mengejutkan saya, 'pakaian kebesaran'-nya tergantung dengan rapi pada cantolan yang ada di warung tersebut!

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan pakaiannya, namun hal tersebut benar-benar membuat saya tidak habis pikir. Dimata saya, tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh polisi amatlah berat. Namun, kejadian tersebut benar-benar membuat saya blank, hang dan berhenti bernafas sejenak!

Saya lalu berpikir, apa lagi yang bisa ditawarkan oleh lembaga kepolisian jika wibawa kepolisian sudah tercoreng sedemikian parahnya? Apakah masih ada ruang bagi masyarakat untuk mempercayai kehadiran petugas polisi?

Wahai bapak-bapak polisi, hendaklah jangan mengenakan 'pakaian kebesaran' kepolisian jika tidak sanggup menanggung beban dan tanggung jawab, serta menjadi contoh dan sandaran kepercayaan masyarakat. Pakaian tersebut bukan hanya untuk gagah-gagahan, melainkan perlambang besarnya tanggung jawab yang harus diemban oleh orang-orang yang mengenakan pakaian tersebut.

Semoga kejadian ini tidak terulang lagi, mengingat belakangan tugas kepolisian sudah semakin membaik dalam melayani dan mengayomi masyarakat.

Semoga lembaga kepolisian di Indonesia, khususnya kota Medan, semakin jaya kedepannya....

oleh : Alex Prawira Maslo

MEDANKU SAYANG, MEDANKU MALANG

Kota Medan, merupakan kota yang mengalami kemajuan pesat dan menuju Medan Metropolitan (atau sudah Metropolitan kah?). Namun disamping itu banyak juga mengalami kemunduran yang cukup besar. Mengapa saya dikatakan begitu? Sebenarnya jawaban atas pertanyaan ini pasti akan berbeda tergantung dari tanggapan dan sudut pandang masing-masing orang.

Kota tercinta ini memang mengalami banyak kemajuan bila dilihat dari berdirinya gedung- gedung pencakar langit. Berdirinya gedung- gedung tersebut merupakan hasil kerja sama atau hasil investasi dengan negara-negara lain. Selain itu, semakin banyaknya kendaraan yang memadati jalan-jalan protokol maupun jalan-jalan kecil pada saat sekarang ini. Bukankah ini bisa menjadi bukti bahwa kota Medan akan menjadi kota Metropolitan? Kota yang nan besar dan maju di segala aspek kehidupan.

Tapi di balik kemajuan-kemajuan itu, juga terjadi kemunduran. Kita lihat dari segi kebersihan. Dulu kota Medan pernah mendapatkan Adipura karena kebersihannya. Kini, apakah Kota Medan masih layak untuk mendapat piala Adipura lagi? Jawabannya tidak, karena sekarang Medan merupakan salah satu kota terjorok. Terbukti, di beberapa ruas jalan seperti jalan Letda Sudjono, jalan Bakaran Batu, jalan Pelita, jalan Danau Singkarak, jalan Mahkamah, dan di sejumlah ruas jalan kota Medan lainnya, banyak ditemui tempat penampungan sampah sementara yang digunakan pihak Pemerintahan Kota Medan sebagai tempat penampungan.

Salah satu tempat sampah dadakan yang muncul akibat “rajinnya” masyarakat medan membuang sampah secara sembarangan adalah di dekat pinggiran rel kereta api yang ada di jalan Bakaran Batu - meski kini sudah tidak lagi karena sudah dialihfungsikan menjadi taman mini beberapa waktu yang lalu. Bisa dibilang para pemakai jalan merasa terganggu akibat adanya tempat sampah dadakan itu. Selain dari munculnya aroma yang tidak sedap, terganggunya kelancaran arus lalu lintas disana juga merupakan salah satu sebab munculnya tempat sampah dadakan tersebut. Akibat lainnya adalah merusak pandangan para masyarakat yang mencintai kebersihan lingkungan mereka. Sampah-sampah tersebut juga dapat menjadi sumber polusi dan virus berbagai jenis penyakit. Kendati kita ingin menjadikan medan sebagai kota metropolitan, mengapa kita tidak berusaha untuk mengubah kota kita menjadi lebih baik? Dimulai dari menyingkirkan tempat-tempat sampah dadakan yang diciptakan oleh masyarakat sekitar kita. Dengan atau tanpa target meraih kembali Adipura, kebersihan kota merupakan hal yang mutlak. Sebagai warga dan masyarakat yang mengaku cinta pada kota Medan, mari kita sama-sama memajukan dan mensejahterakan kota kita ini, karena manfaatnya adalah untuk kita bersama.

Mari bersama-sama menjaga kebersihan kota Medan....

oleh :

foto : seorang ibu yang menutup hidungnya ketika melintasi jalan Puri, Medan.

Sabtu, 15 November 2008

SEJARAH KOTA MEDAN

1. Asal Usul Medan
Orang pertama yang membuka Kampung Medan adalah Guru Patimpus, sekitar tahun 1590-an. Guru Patimpus - suku Karo beragama Islam.

Perkampungan yang dibuka oleh Guru Patimpus posisinya terletak pada pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (disekitar kawasan jalan Putri Hijau sekarang), yang diberi nama Medan Putri. Karena kawasan tersebut merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, maka Medan Putri yang merupakan cikal bakal kota Medan, dengan cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Menurut Buku “Riwayat Hamparan Perak” karangan Tengku Lukman Sinar, SH. terbitan tahun 1971, Guru Patimpus merupakan nenek moyang dari Datuk Hamparan Perak (Dua Belas Kota) dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli.

Dua dasa warsa setelah berdirinya kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirimkan panglimanya yang bernama Gocah Pahlawan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan berhasil memperluas daerah kekuasaannya hingga meliputi daerah sekitar Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Deli Serdang sekarang ini. Ditambah lagi pada tahun 1632 Gocah pahlawan menikahi putri Datuk Sunggal. Setelah perkawinan ini, raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.

1653 Gocah Pahlawan wafat dan digantikan oleh putranya Tuanku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh (1669), dengan ibukota di Labuhan (kira-kira 20 km dari kota Medan).

Jhon Anderson, seorang Inggris yang melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823, mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang. Tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut.

2. Masa Kejayaan Tanah Deli
Tahun 1861, beberapa orang Fujian dari sebelah Utara China mendarat di Labuhan untuk mengadu nasib di Tanah Deli. Selanjutnya pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha). di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan untuk ditanami tembakau.

Maret 1864, contoh hasil panen tembakau dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu. Pesatnya perkembangan “Medan Putri” tidak lepas dari pengaruh perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan nama Tembakau Delinya tersebut.

Bersamaan dengan pesatnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan tembakau, tahun 1890-1920 adalah era dimana masuknya gelombang kuli untuk bekerja di perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara besar-besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa. Kebanyakan dari mereka tertipu oleh bujukan para agen pencari kerja yang mengatakan kepada mereka bahwa Deli adalah tempat dimana pohon yang berdaun uang (metafor dari tembakau). Dijanjikan akan kaya raya namun kenyataannya mereka dijadikan budak. Selama puluhan tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, perlakuan kasar majikan.

Van den Brand adalah seorang advokat yang tinggal di Medan dan melihat secara langsung derita kuli-kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli, ia dengan penuh keberanian menentang sengit penale sanciate (aturan hukum bagi kuli-kuli yang bekerja di perkebunan) yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda di wilayah tersebut. Brosur Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli) setebal 71 halaman diterbitkan pada tahun 1902 di Belanda. Brosur yang memprotes diberlakukannya penale sanciate dan juga mengurai derita dan skandal perbudakan yang dialami ribuan kuli kontrak asal Jawa yang berkerja di perkebunan tembakau milik swasta Belanda di Deli. Tulisan ini kontan menggegerkan dunia internasional. Pemerintah Belanda mendapat tekanan untuk membuktikan kebenaran tulisan itu. Karena jasa-jasanya, surat kabar “Soeara Batak” yang terbit di Tapanuli menyebut Van den Brand sebagai “Bapak Kuli Kontrak”. Sayangnya nama Van den Brand tampaknya terlupakan oleh masyarakat Indonesia.

3. Zaman Penjajahan Belanda
Walaupun Belanda memiliki beberapa perkebunan besar di Tanah Deli, tetapi mereka belum sepenuhnya menguasai Deli. Pendudukan Belanda terhadap Tanah Deli, harus melalui perjuangan yang berat. Kesempatan untuk menaklukkan Tanah Deli baru terbuka saat Sultan Ismail yang berkuasa di Riau, secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggris yang dipimpin Adam Wilson. Merasa terdesak, Sultan Ismail meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan Kerajaan Siak Indrapura yang meliputi Deli, Langkat, Serdang di Sumatera Timur masuk dalam kekuasaan Belanda.

Pada tahun yang sama 1858, Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula ia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail, tujuannya tentu dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan secara politis akan mudah bagi Netscher untuk menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang didalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

Perkembangan pesat Medan Putri sebagai pusat perdagangan mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. 1879, Ibukota Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. 1Maret 1887, Ibukota Residen Deli Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Istana Kesultanan Deli yang berada di kampung Bahari (Labuhan) juga pndah ke Medan dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada 18 Mei 1891. Dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Tjong A Fie, salah satu pendiri Kota Medan , datang dari Canton di 1875, mengadu peruntungannya di Tanah Deli bersama abangnya Tjong Yong Hian. Dia membangun hubungan baik dengan Sultan Deli dan kaum Belanda pemilik perkebunan, sehingga kemudia dia ditunjuk sebagai “Majoor der Chineezen” atau Pemimpin komunitas China. Rumah Tjong A Fie di Kesawan rampung sekitar tahun 1900an, sebuah bangunan dengan perpaduan arsitektur, China-Eropa dan Art Deco. Tahun 1913 dia menyumbangkan jam kota untuk gedung Balai Kota.

Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang. Secara umum, morfologi kota Medan pada saat itu dapat dibagi menjadi tiga bagian : Distrik Colonial yang terdiri dari bangunan-bangunan penting dan infrastruktur seperti Area Bisnis di daerah Kesawan, Area militer di sekitar sungai Deli dan sungai Babura, Pemukiman elit di Polonia, Pusat Pasar, Gereja. Rumah sakit, Sekolah, Stasiun Kereta Api dan Bandar Udara. Area Etnis China yang berlokasi di sebelah timur sungai Deli, berpotongan dengan Area kolonial Belanda di Kesawan. Area Pribumi, yang berpusat di Istana Kesultanan dan Mesjid di sebelah selatan kota setelah distrik Kesawan dan Area etnis China.

4. Zaman Pendudukan Jepang
Keadaan berubah ketika pendudukan Belanda mulai berakhir sekitar tahun 1942, saat pasukan Jepang mengambil alih kekuasaan. Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur” oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico” (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.

Semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja, kenyataannya rakyat sangat menderita dengan diberlakukannya pertanian kolektif dan kerja paksa.Para Pemuda direkrut untuk bergabung dalam organisasi bentukan Jepang seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta.

5. Mempertahankan Kemerdekaan

Ketika Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, beritanya sampai ke Medan walaupun agak tersendat-sendat karena keterbatasan sarana komunikasi. Dan Medan mulai berusaha membangun daerahnya. Namun 1 September 1945 sekelompok kecil tentara sekutu yang dipimpin Let I Pelaut Brondgeest tiba di Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekaang hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.

Tentu saja niat mereka ditentang oleh para pemuda. Kemerdekaan adalah harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi, pertempuran demi pertempuran mempertahankan kemerdekaan pun terjadi, salah satunya adalah Pertempuran Medan Area. Bahkan Medan sempat menjadi ibukota sementara negara Indonesia yang baru merdeka.

6. Pertumbuhan Medan
Medan terus berbenah, pembangunan fisik terus berlangsung hingga kini. Pertumbuhan yang pesat mendorong Medan berkembang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara .

>>>> dirangkum dari berbagai sumber

oleh : Megawati

Selasa, 04 November 2008

Lampu Lalu Lintas atau Sekedar Lampu Hias?

Saya terkadang heran dengan fungsi dari lampu lalu lintas. Dengan biaya pengadaan yang cukup menguras kas Pemerintah Daerah, lampu-lampu yang terpasang di hampir semua perempatan besar kota Medan ini seolah hanya sebagai hiasan belaka. Coba saja perhatikan persimpangan- persimpangan yang tidak dijaga oleh aparat yang berkepentingan maupun polisi. Pasti selalu ada yang menerobos tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain.

Contohnya saja, di persilangan jalan AR. Hakim dengan jalan Wahidin. Oleh teman saya, persimpangan ini disebut persimpangan "preman". Alasannya, siapa yang bagian depan kendaraannya bisa duluan mendahului, maka dialah yang boleh duluan lewat. Tidak jarang, pengendara sepeda motor yang melintas juga tanpa alat pengaman kepala alias helm. Akibatnya, seperti judul diatas, lampu lalu lintas ibarat hiasan belaka. Meski ada petugas dari Dinas Perhubungan (Dishub) atau Lalu Lintas dan Jalan Raya (DLLAJR) yang mengatur, bukan berarti pengguna jalan persimpangan tersebut langsung patuh.

Padahal saya yakin, semua orang yang pernah mengenyam pendidikan, minimal sampai di bangku Sekolah Dasar (SD), pastilah pernah diajarkan fungsi dari lampu lalu lintas. Bahkan di buku pegangan SD yang kurikulumnya berstandar nasional saat ini, informasi tentang fungsi lampu lalu lintas telah dimuat di kelas 1 (satu) SD, bahkan lengkap dengan gambar!

Lalu, apa yang salah? Apakah memang fungsi lampu lalu lintas sudah berubah sekarang ini? Setahu saya, fungsi atau arti lampu lalu lintas itu sama semuanya, bukan hanya yang ada di kota Medan saja, namun di kota-kota lain di Indonesia juga seharusnya sama. Bahkan di hampir semua negara di dunia juga sama. Bedanya, tidak semua negara menggunakan lampu berwarna kuning.

Selain hal diatas, ada satu hal lagi yang mungkin luput dari pertimbangan dinas tata kota yang mengatur lampu lalu lintas. Jika diperhatikan, meski tidak di semua lampu lalu lintas di setiap persimpangan ada, terdapat count down timer yang berfungsi untuk memberitahu pengguna jalan, baik pejalan kaki yang hendak menyeberang maupun pengendara sepeda motor dan mobil tentang sisa waktu yang dimiliki, baik untuk melintasi persimpangan, maupun untuk menunggu giliran melintas. Seharusnya, karena sudah memiliki timer, lampu berwarna kuning seharusnya tidak diperlukan lagi. Selama ini, fungsi lampu kuning adalah sebagai warning bagi pengendara yang hendak melewati sebuah persimpangan untuk berhati-hati atau mengurangi kecepatannya dan bersiap-siap untuk berhenti. Namun karena sudah ada timer, seharusnya lampu berwarna kuning tidak diperlukan lagi, dan dapat menghemat cost instalasi lampu lalu lintas. Sistem ini juga sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa negara lain, terutama negara-negara maju.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kemajuan suatu negara juga bisa dicermati dari kesadaran berlalu lintas masyarakatnya. Benar atau salah, mari kita tanyakan ke diri kita masing-masing : “Sudahkah saya mematuhi lampu lalu lintas?”

Mari berdisiplin di jalan raya….

oleh : Alex Prawira Maslo

foto : pengguna jalan raya yang mencoba menerobos lampu merah di persimpangan jalan Sisingamangaraja dan jalan Rahmadsyah.

Sabtu, 01 November 2008

Cegah Banjir Dari Diri Sendiri

Selama dua minggu terakhir, kota Medan selalu direndam banjir terutama saat hujan turun dengan lebat. Kondisi ini mengakibatkan sejumlah ruas jalan menjadi terendam air.

Tercatat di beberapa daerah seperti di kawasan Lapangan Merdeka, jalan Kereta Api, jalan Raden Saleh, dan banyak jalan besar maupun kecil lainnya ikut terendam. Rendaman air tersebut bervariasi, mulai dari setinggi mata kaki hingga mencapai betis orang dewasa. Bahkan di beberapa titik yang memang rawan banjir, genangan air hampir mencapai pinggang orang dewasa.

Di jalan dr. Mansyur misalnya, meluapnya sungai Babura yang diakibatkan hujan deras yang turun cukup lama menyebabkan pengguna jalan mengalami kesulitan untuk melintasi jalan. Kondisi serupa juga terjadi di jalan STM dan jalan Alfiah Medan.

Kini, topik mubazirnya pembangunan waduk di Titi Kuning yang telah selesai dibangun beberapa waktu yang lalu, mulai diangkat ke permukaan. Waduk yang pembangunannya menghabiskan dana yang cukup besar ini awalnya disinyalir dapat menjadi alternatif solusi banjir yang senantiasa terjadi setiap hujan mewarnai kota Medan. Namun faktanya tidak demikian, sehingga dinas terkait saling menyalahkan. Masyarakat juga tidak berhenti-berhentinya “mencuap-cuap”.

Jika hendak kita tilik ke belakang, siapa sih yang hendak kita salahkan atas bencana ‘rutin’ yang murni disebabkan oleh ulah manusia ini? Pemerintah? Atau kita sendiri sebagai masyarakat yang tinggal di dalamnya?

Sebagai pemerintah, sudah sepantasnyalah memutar otak dan bekerja lebih keras untuk untuk menanggulangi problema ini dan berhenti untuk saling menyalahkan instansi lainnya. Sebaliknya, jika memang tidak sanggup, hendaknya pemerintah bersikap lebih terbuka dengan meminta saran dari pakar atau pihak lain. Pemerintah juga hendaknya tidak menunggu hingga bencana datang baru bertindak.

Sebagai masyarakat juga, hendaklah turut serta menjaga fasilitas-fasilitas umum yang sudah disediakan, dan bukan melulu menuntut pemerintah, tanpa melakukan tindakan pencegahan yang seyogianya dapat dimulai dari diri sendiri.

Salah satu alasan klasik penyebab banjir yang sudah diketahui masyarakat banyak adalah tersumbatnya saluran air yang diakibatkan oleh sampah. Namun toh masih banyak yang tidak ambil pusing. Tidak jarang sampah ditemukan ditengah atau di pinggir jalan. Apakah pemerintah juga yang harus disalahkan atas sampah yang kita buang?

Marilah bersama-sama menjaga kebersihan kota Medan….

oleh : Jill Kho

foto : banjir yang menggenangi kawasan Aksara