Sabtu, 15 November 2008

SEJARAH KOTA MEDAN

1. Asal Usul Medan
Orang pertama yang membuka Kampung Medan adalah Guru Patimpus, sekitar tahun 1590-an. Guru Patimpus - suku Karo beragama Islam.

Perkampungan yang dibuka oleh Guru Patimpus posisinya terletak pada pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (disekitar kawasan jalan Putri Hijau sekarang), yang diberi nama Medan Putri. Karena kawasan tersebut merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, maka Medan Putri yang merupakan cikal bakal kota Medan, dengan cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Menurut Buku “Riwayat Hamparan Perak” karangan Tengku Lukman Sinar, SH. terbitan tahun 1971, Guru Patimpus merupakan nenek moyang dari Datuk Hamparan Perak (Dua Belas Kota) dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat kepala suku Kesultanan Deli.

Dua dasa warsa setelah berdirinya kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirimkan panglimanya yang bernama Gocah Pahlawan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan berhasil memperluas daerah kekuasaannya hingga meliputi daerah sekitar Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Deli Serdang sekarang ini. Ditambah lagi pada tahun 1632 Gocah pahlawan menikahi putri Datuk Sunggal. Setelah perkawinan ini, raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.

1653 Gocah Pahlawan wafat dan digantikan oleh putranya Tuanku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh (1669), dengan ibukota di Labuhan (kira-kira 20 km dari kota Medan).

Jhon Anderson, seorang Inggris yang melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823, mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang. Tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut.

2. Masa Kejayaan Tanah Deli
Tahun 1861, beberapa orang Fujian dari sebelah Utara China mendarat di Labuhan untuk mengadu nasib di Tanah Deli. Selanjutnya pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha). di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan untuk ditanami tembakau.

Maret 1864, contoh hasil panen tembakau dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu. Pesatnya perkembangan “Medan Putri” tidak lepas dari pengaruh perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan nama Tembakau Delinya tersebut.

Bersamaan dengan pesatnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan tembakau, tahun 1890-1920 adalah era dimana masuknya gelombang kuli untuk bekerja di perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara besar-besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa. Kebanyakan dari mereka tertipu oleh bujukan para agen pencari kerja yang mengatakan kepada mereka bahwa Deli adalah tempat dimana pohon yang berdaun uang (metafor dari tembakau). Dijanjikan akan kaya raya namun kenyataannya mereka dijadikan budak. Selama puluhan tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, perlakuan kasar majikan.

Van den Brand adalah seorang advokat yang tinggal di Medan dan melihat secara langsung derita kuli-kuli kontrak di perkebunan tembakau di Deli, ia dengan penuh keberanian menentang sengit penale sanciate (aturan hukum bagi kuli-kuli yang bekerja di perkebunan) yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda di wilayah tersebut. Brosur Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli) setebal 71 halaman diterbitkan pada tahun 1902 di Belanda. Brosur yang memprotes diberlakukannya penale sanciate dan juga mengurai derita dan skandal perbudakan yang dialami ribuan kuli kontrak asal Jawa yang berkerja di perkebunan tembakau milik swasta Belanda di Deli. Tulisan ini kontan menggegerkan dunia internasional. Pemerintah Belanda mendapat tekanan untuk membuktikan kebenaran tulisan itu. Karena jasa-jasanya, surat kabar “Soeara Batak” yang terbit di Tapanuli menyebut Van den Brand sebagai “Bapak Kuli Kontrak”. Sayangnya nama Van den Brand tampaknya terlupakan oleh masyarakat Indonesia.

3. Zaman Penjajahan Belanda
Walaupun Belanda memiliki beberapa perkebunan besar di Tanah Deli, tetapi mereka belum sepenuhnya menguasai Deli. Pendudukan Belanda terhadap Tanah Deli, harus melalui perjuangan yang berat. Kesempatan untuk menaklukkan Tanah Deli baru terbuka saat Sultan Ismail yang berkuasa di Riau, secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggris yang dipimpin Adam Wilson. Merasa terdesak, Sultan Ismail meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan Kerajaan Siak Indrapura yang meliputi Deli, Langkat, Serdang di Sumatera Timur masuk dalam kekuasaan Belanda.

Pada tahun yang sama 1858, Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula ia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail, tujuannya tentu dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan secara politis akan mudah bagi Netscher untuk menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang didalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

Perkembangan pesat Medan Putri sebagai pusat perdagangan mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. 1879, Ibukota Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. 1Maret 1887, Ibukota Residen Deli Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Istana Kesultanan Deli yang berada di kampung Bahari (Labuhan) juga pndah ke Medan dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada 18 Mei 1891. Dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Tjong A Fie, salah satu pendiri Kota Medan , datang dari Canton di 1875, mengadu peruntungannya di Tanah Deli bersama abangnya Tjong Yong Hian. Dia membangun hubungan baik dengan Sultan Deli dan kaum Belanda pemilik perkebunan, sehingga kemudia dia ditunjuk sebagai “Majoor der Chineezen” atau Pemimpin komunitas China. Rumah Tjong A Fie di Kesawan rampung sekitar tahun 1900an, sebuah bangunan dengan perpaduan arsitektur, China-Eropa dan Art Deco. Tahun 1913 dia menyumbangkan jam kota untuk gedung Balai Kota.

Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang. Secara umum, morfologi kota Medan pada saat itu dapat dibagi menjadi tiga bagian : Distrik Colonial yang terdiri dari bangunan-bangunan penting dan infrastruktur seperti Area Bisnis di daerah Kesawan, Area militer di sekitar sungai Deli dan sungai Babura, Pemukiman elit di Polonia, Pusat Pasar, Gereja. Rumah sakit, Sekolah, Stasiun Kereta Api dan Bandar Udara. Area Etnis China yang berlokasi di sebelah timur sungai Deli, berpotongan dengan Area kolonial Belanda di Kesawan. Area Pribumi, yang berpusat di Istana Kesultanan dan Mesjid di sebelah selatan kota setelah distrik Kesawan dan Area etnis China.

4. Zaman Pendudukan Jepang
Keadaan berubah ketika pendudukan Belanda mulai berakhir sekitar tahun 1942, saat pasukan Jepang mengambil alih kekuasaan. Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur” oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico” (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.

Semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja, kenyataannya rakyat sangat menderita dengan diberlakukannya pertanian kolektif dan kerja paksa.Para Pemuda direkrut untuk bergabung dalam organisasi bentukan Jepang seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta.

5. Mempertahankan Kemerdekaan

Ketika Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, beritanya sampai ke Medan walaupun agak tersendat-sendat karena keterbatasan sarana komunikasi. Dan Medan mulai berusaha membangun daerahnya. Namun 1 September 1945 sekelompok kecil tentara sekutu yang dipimpin Let I Pelaut Brondgeest tiba di Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekaang hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.

Tentu saja niat mereka ditentang oleh para pemuda. Kemerdekaan adalah harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi, pertempuran demi pertempuran mempertahankan kemerdekaan pun terjadi, salah satunya adalah Pertempuran Medan Area. Bahkan Medan sempat menjadi ibukota sementara negara Indonesia yang baru merdeka.

6. Pertumbuhan Medan
Medan terus berbenah, pembangunan fisik terus berlangsung hingga kini. Pertumbuhan yang pesat mendorong Medan berkembang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara .

>>>> dirangkum dari berbagai sumber

oleh : Megawati

Tidak ada komentar: